Kota Banyuwangi adalah kabupaten terluas di Jawa Timur. Luasnya 5.782,50 km^2.[2]
Wilayahnya cukup beragam, dari dataran rendah hingga pegunungan.
Kawasan perbatasan dengan Kabupaten Bondowoso, terdapat rangkaian Dataran Tinggi Ijen dengan puncaknya Gunung Raung (3.282 m) dan Gunung Merapi (2.800 m), keduanya adalah gunung api aktif.
Bagian selatan terdapat perkebunan, peninggalan sejak zaman Hindia Belanda. Di perbatasan dengan Kabupaten Jember bagian selatan, merupakan kawasan konservasi yang kini dilindungi dalam sebuah cagar alam, yakni Taman Nasional Meru Betiri. Pantai Sukamade merupakan kawasan pengembangan penyu. Di Semenanjung Blambangan juga terdapat cagar alam, yaitu Taman Nasional Alas Purwo.
Pantai timur Banyuwangi (Selat Bali) merupakan salah satu penghasil ikan terbesar di Jawa Timur. Di Muncar terdapat pelabuhan perikanan.
Transportasi
Ibukota Kabupaten Banyuwangi berjarak 239 km sebelah timur Surabaya. Banyuwangi merupakan ujung paling timur jalur pantura serta titik paling timur jalur kereta api Pulau Jawa.[rujukan?]Pelabuhan Ketapang terletak di kota Banyuwangi bagian utara, menghubungkan Jawa dan Bali dengan kapal ferry, LCM, roro dan tongkang.[rujukan?]
Dari Surabaya, Kabupaten Banyuwangi dapat dicapai dari dua jalur
jalan darat, jalur utara dan jalur selatan. Jalur utara merupakan bagian
dari jalur pantura yang membentang dari Anyer hingga pelabuhan
Panarukan dan melewati kabupaten Situbondo. Sedangkan jalur selatan
merupakan pecahan dari jalur pantura dari Kabupaten Probolinggo melewati Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Jember di kedua jalur tersebut tersedia bus eksekutif (pattas) maupun ekonomi.
Terdapat pula moda transportasi darat lainnya, yaitu jalur kereta api
Surabaya - Pasuruan - Probolinggo - Jember dan berakhir di Banyuwangi.
Untuk transportasi wilayah perkotaan terdapat moda angkutan mikrolet, taksi Using Transport serta colt
yang melayani transportasi antar kecamatan dan minibus yang melayani
trayek Banyuwangi dengan kota-kota kabupaten di sekitarnya.
Bandar Udara Blimbingsari di kecamatan Rogojampi
dalam pembangunannya sempat tersendat akibat kasus pembebasan lahan,
dan memakan korban 2 bupati yang menjabat dalam masa pembangunannya
yaitu Bupati Samsul Hadi dan Bupati Ratna Ani Lestari. Dan pada tanggal
28 Desember 2010, Bandar Udara Blimbingsari telah dibuka untuk
penerbangan komersial Banyuwangi (BWW) - Denpasar (DPS) - Banyuwangi
(BWW) dan Banyuwangi (BWW) - Surabaya (SUB) - Banyuwangi (SUB), per
tanggal 24 Agustus 2011 Maskapai Merpati Airlines membuka penerbangan
dari Banyuwangi dengan tujuan Surabaya, Semarang, dan Bandung.[rujukan?]
Penduduk
Penduduk Banyuwangi cukup beragam. Mayoritas adalah Suku Osing, namun terdapat Suku Madura (kecamatan Wongsorejo, Bajulmati, Glenmore dan Kalibaru) dan Suku Jawa yang cukup signifikan, serta terdapat minoritas Suku Bali dan Suku Bugis.
Suku Osing merupakan penduduk asli kabupaten Banyuwangi dan bisa
dianggap sebagai sebuah sub-suku dari suku Jawa. Mereka menggunakan
Bahasa Osing, yang dikenal sebagai salah satu ragam tertua Bahasa Jawa.
Kesenian asal Banyuwangi adalah kuntulan, gandrung , jaranan, barong, janger dan seblang.
Suku Osing Banyak mendiami di Kecamatan Rogojampi, Songgon, Kabat,
Glagah, Giri, Kalipuro, Kota serta sebagian kecil di kecamatan lain.[rujukan?]
Bahasa dan budaya suku Osing banyak dipengaruhi oleh bahasa dan budaya Bali.
Sejarah
Sejarah Banyuwangi tidak lepas dari sejarah Kerajaan Blambangan. Pada pertengahan abad ke-17, Banyuwangi merupakan bagian dari Kerajaan Blambangan yang dipimpin oleh Pangeran Tawang Alun. Pada masa ini secara administratif VOC
menganggap Blambangan sebagai wilayah kekuasannya, atas dasar
penyerahan kekuasaan jawa bagian timur (termasuk blambangan) oleh Pakubuwono II
kepada VOC. Namun VOC tidak pernah benar-benar menancapkan kekuasaanya
sampai pada akhir abad ke-17, ketika pemerintah Inggris menjalin
hubungan dagang dengan Blambangan. Daerah yang sekarang dikenal sebagai
"kompleks Inggrisan" adalah bekas tempat kantor dagang Inggris.[rujukan?]
VOC segera bergerak untuk mengamankan kekuasaanya atas Blambangan
pada akhir abad ke-18. Hal ini menyulut perang besar selama lima tahun (1767-1772). Dalam peperangan itu terdapat satu pertempuran dahsyat yang disebut Puputan Bayu
sebagai merupakan usaha terakhir Kerajaan Blambangan untuk melepaskan
diri dari belenggu VOC. Pertempuran Puputan Bayu terjadi pada tanggal 18 Desember 1771
yang akhirnya ditetapkan sebagai hari jadi Banyuwangi. Namun pada
akhirnya VOC-lah yang memperoleh kemenangan dengan diangkatnya R.
Wiroguno I (Mas Alit) sebagai bupati Banyuwangi pertama dan tanda
runtuhnya kerajaan Blambangan.
Tokoh sejarah fiksi yang terkenal adalah Putri Sri Tanjung
yang di bunuh oleh suaminya di pinggir sungai karena suaminya ragu akan
janin dalam rahimnya bukan merupakan anaknya tetapi hasil
perselingkuhan ketika dia ditinggal menuju medan perang. Dengan sumpah
janjinya kepada sang suami sang putri berkata: "Jika darah yang mengalir
di sungai ini amis memang janin ini bukan anakmu tapi jika berbau harum
(wangi) maka janin ini adalah anakmu". Maka seketika itu darah yang
mengalir ke dalam sungai tersebut berbau wangi, maka menyesalah sang
suami yang dikenal sebagai Raden Banterang ini dan menamai daerah itu
sebagai Banyuwangi.
Tokoh sejarah lain ialah Minak Djinggo, seorang Adipati dari
Blambangan yang memberontak terhadap kerajaan Majapahit dan dapat
ditumpas oleh utusan Majapahit, yaitu Damarwulan. Namun sesungguhnya
nama Minak Djinggo bukanlah nama asli dari adipati Blambangan. Nama
tersebut diberikan oleh masyarakat Majapahit sebagai wujud olok-olok
kepada Brhe Wirabumi yang memang keturunan dari kerajaan Majapahit.[rujukan?]
Seni budaya
Kabupaten Banyuwangi selain menjadi perlintasan dari Jawa ke Bali,
juga merupakan daerah pertemuan berbagai jenis kebudayaan dari berbagai
wilayah. Budaya masyarakat Banyuwangi diwarnai oleh budaya Jawa, Bali, Madura, Melayu,
Eropa dan budaya lokal yang saling isi mengisi dan akhirnya menjadi
tipikal yang tidak ditemui di wilayah manapun di Pulau Jawa.[rujukan?]
Kesenian tradisional
Kesenian tradisional khas Banyuwangi antara lain :
- Barong Kemiren
- Gandrung Banyuwangi
- Seblang
- Janger
- Rengganis
- Hadrah Kunthulan
- Patrol
- Mocopatan Pacul Goang
- Jaranan Butho
- Barong
- Kebo-Keboan
- Angklung Caruk
- Gedhogan
- Batik
Jenis kesenian tadi merupakan sebagian dari kesenian khas Banyuwangi
yang masih hidup dan berkembang di kalangan masyarakat setempat.
Musik khas Banyuwangi
Gamelan Banyuwangi khususnya yang dipakai dalam tari Gandrung
memiliki kekhasan dengan adanya kedua biola, yang salah satunya
dijadikan sebagai pantus atau pemimpin lagu. Menurut sejarahnya, pada
sekitar abad ke-19, seorang Eropa
menyaksikan pertunjukan Seblang (atau Gandrung) yang diiringi dengan
suling. Kemudian orang tersebut mencoba menyelaraskannya dengan biola
yang dia bawa waktu itu, pada saat dia mainkan lagu-lagu Seblang tadi
dengan biola, orang-orang sekitar terpesona dengan irama menyayat yang
dihasilkan biola tersebut. Sejak itu, biola mulai menggeser suling
karena dapat menghasilkan nada-nada tinggi yang tidak mungkin
dikeluarkan oleh suling.
Selain itu, gamelan ini juga menggunakan "kluncing" (triangle),
yakni alat musik berbentuk segitiga yang dibuat dari kawat besi tebal,
dan dibunyikan dengan alat pemukul dari bahan yang sama.
Kemudian terdapat "kendhang" yang jumlahnya bisa satu atau dua.
Kendhang yang dipakai di Banyuwangi hampir serupa dengan kendhang yang
dipakai dalam gamelan Sunda maupun Bali. Fungsinya adalah menjadi
komando dalam musik, dan sekaligus memberi efek musical di semua sisi.
Alat berikutnya adalah "kethuk". Terbuat dari besi, berjumlah dua
buah dan dibuat berbeda ukuran sesuai dengan larasannya. "Kethuk estri" (feminine) adalah yang besar, atau dalam gamelan Jawa disebut Slendro. Sedangkan "kethuk jaler" (maskulin)
dilaras lebih tinggi satu kempyung (kwint). Fungsi kethuk disini bukan
sekedar sebagai instrumen ‘penguat atau penjaga irama’ seperti halnya
pada gamelan Jawa, namun tergabung dengan kluncing untuk mengikuti pola
tabuhan kendang.
Sedangkan "kempul" atau gong, dalam gamelan Banyuwangi (khususnya
Gandrung) hanya terdiri dari satu instrumen gong besi. Kadang juga
diselingi dengan "saron bali" dan "angklung".
Selain Gamelan untuk Gandrung ini, gamelan yang dipakai untuk
pertunjukan Angklung Caruk agar berbeda dengan Gandrung, karena ada
tambahan angklung bambu yang dilaras sesuai tinggi nadanya. Untuk
patrol, semua alat musiknya terbuat dari bambu. Bahkan untuk pertunjukan
Janger, digunakan gamelan Bali, dan Rengganis gamelan Jawa lengkap.
Sedang khusus kesenian Hadrah Kunthulan, digunakan rebana, beduk,
kendhang, biola dan kadang bonang (atau dalam gamelan Bali disebut
Reong).
Modernisasi pun tidak terelakkan dalam seni musik Banyuwangi, muncul
berbagai varian musik yang merupakan paduan tradisional dan modern,
seperti Kunthulan Kreasi, Gandrung Kreasi, Kendhang Kempul Kreasi dan
Janger Campursari yang memasukkan unsure elekton kedalam musiknya, dan
menjadi kesenian popular di kalangan masyarakat. Namun demikian,
sebagian pakar kebudayaan mengkhawatirkan seni kreasi ini akan menggeser
kesenian klasik yang sudah berkembang selama berratus-ratus tahun